Subscribe Us

Tujuh Isu Penyebab Pencemaran Danau Maninjau

Foto Net

Agam, Laparta News - Peneliti Danau Maninjau, Prof. Hafrijal Syandri menyebutkan, ada tujuh isu terkait permasalahan lingkungan hidup sektor budidaya perikanan di Danau Maninjau.
Pertama, isu letak dan luas lahan budidaya yang tidak ideal, ke-dua, isu kematian ikan, ke-tiga, isu pakan ikan, ke-empat, isu pemberian pakan ikan berlebihan, ke-lima, isu daya tampung beban pencemaran, ke-enam, isu kualitas air, dan ke-tujuh, isu status tropik Danau Maninjau.
Hal itu dipaparkan oleh mantan dosen Universitas Bung Hatta itu saat acara audiensi antara Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion (P3E) Sumatera dengan Pemerintah Kabupaten Agam, Selasa (12/3) di ruang rapat bupati, Lubuk Basung.
Hadir pada kesempatan itu, Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion (P3E) Sumatera, Amral Feri, Wakil Bupati Agam Trinda Farhan Satria, dan beberapa orang kepala OPD terkait.
Ia menyebutkan, selama lebih kurang satu tahun meneliti sejak 2018, akibat semakin tercemarnya kondisi Danau Maninjau saat ini adalah tidak seimbangnya antara daya tampung danau dengan daya dukung lingkungan hidup sektor perikanan budidaya.
Kemudian, jumlah Keramba Jaring Apung (KJA) dari tahun ke tahun sejak 2001 tidak stabil dan nyaris bertambah. Namun antara tahun 2017 dengan 2018 mengalami penurunan. Tercatat, sejak tahun 2017 ke 2018 dari 18.921 KJA dengan 11.352 KJA produktif menjadi 15.373 KJA dan 9.223 KJA produktif.
Apabila dilihat perbandingan antara total KJA produktif dengan luas lahan terpakai dan luas lahan yang ideal juga tidak sebanding. Sebagai sampel pada tahun 2018 lahan yang terpakai untuk KJA seluas 39,78 hektar, sementara idealnya 394,1 hektar dengan jumlah KJA 15.373 petak untuk ukuran ikan rata-rata 20 gram/ekor.
“Belum lagi masalah pemberian pakan yang berlebihan oleh para petani keramba, yang mengakibatkan kondisi air tercemar dan dampaknya akan terjadi kematian ikan secara massal,” jelasnya.
Dijelaskannya, kematian ikan massal pada tahun 2016 sebesar 600 ton dari total KJA sebanyak 20.620 petak, dengan kerugian sebesar Rp.212 miliar.
Hal ini diakibatkan oleh tidak sesuainya daya tampung beban pencemaran air. Pihaknya mencatat sejak tahun 2008 sampai 2017 para petani KJA selalu melanggar dari ambang batas kuota daya tampung.
Pada tahun 2017, tercatat produksi ikan sebesar 28.381,50 ton/tahun sementara daya tampung ideal seharusnya 6.490,82 ton/tahun. Sementara itu, untuk kuota pakan ikan pada 2017, sebesar 45.410,40 ton/tahun, sedangkan daya tampung idealnya 9.736,23 ton/tahun.
Guna meminimalisir terjadinya kematian ikan dan pencemaran air ke dasar danau akibat pakan ikan, pihaknya memberikan solusi agar membangun alat kontrol polutan secara insitu. Hal itu bertujuan untuk mengontrol pakan ikan yang terbuang dengan cara membuat ecological dam.
Ia menjelaskan, untuk ukuran KJA 5X5 meter dengan padat tebar ikan nila 3.000 ekor, pakan 800 kilogram, lama pemeliharaan 100 hari maka total limbah 856 kilogram.
“Konsep ecological dam cukup baik untuk meminimalisir pencemaran air saat ini,” ulasnya.
Menyikapi hal itu, Wakil Bupati Agam Trinda Farhan Satria menyambut baik atas usulan dan saran positif yang diberikan Prof. Hafrijal bersama tim P3E Sumatera terkait penyelamatan Danau Maninjau.
Ia menjelaskan, bahwa secara bertahap pihaknya sedang menjalankan program Save Maninjau salah satunya moratorium KJA.
“Setelah ini kita akan membuat pilot projek jangka pendek mengenai usulan dari P3E demi keberlanjutan program penyelamatan Danau Maninjau yang sedang dibangun,” jelas wabup. (LN 01/Red)

Posting Komentar

0 Komentar