Oleh: Arafik Zamhari, SPdI
ISTILAH melawan tabung kosong sebetulnya tidak asing ditelinga masyarakat. Pemilihan seperti ini kerab terjadi pada sejumlah pemilihan kepala desa karena hanya diikuti satu calon. Namun pada pilkada langsung, Pasangan calon tunggal dan pasangan calon perseorangan secara hukum mulai diakui dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasangan calon perseorangan diperbolehkan sejak adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 yang dibacakan pada tanggal 23 Juli 2007, ketika MK masih diketuai oleh Jimly Asshiddhiqie. Sedangkan pasangan calon tunggal dalam pilkada diawali oleh putusan MK yaitu putusan Nomor 100/PUU-XIII/2015.
Dalam pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2015, yang diikuti 9 provinsi, 36 kota dan 224 Kabupaten, muncul polemik dalam proses pencalonan, dimana di beberapa daerah hanya terdapat satu pasangan calon yang mendaftarkan diri ke KPU Kabupaten/Kota sampai dengan akhir masa pendaftaran.
Terdapat sebelas daerah yang sampai akhir masa pendaftaran hanya terdapat satu pasangan calon yang mendaftar, yaitu Kabupaten Asahan (Sumut), Kabupaten Tasikmalaya (Jabar), Kota Surabaya, Kabupaten Pacitan dan Kabupaten Blitar (Jatim), Kabupaten Purbalingga (Jateng), Kabupaten Minahasa Selatan (Sulut), Kota Mataram (NTB), Kota Samarinda (Kaltim), Kabupaten Timor Tengah Utara (NTT) serta Kabupaten Pengunungan Arfak (Papua Barat).
Di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara bahkan tidak ada satupun pasangan calon yang mendaftarkan diri ke KPU Kabupaten.
Berdasarkan ketentuan pasal 89 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 9 tahun 2015 tentang pencalonan, yang diubah dengan PKPU nomor 12 tahun 2015, apabila sampai dengan akhir masa pendaftaran pasangan calon hanya terdapat satu pasangan atau tidak ada pasangan calon yang mendaftar, KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota memperpanjang masa pendaftaran pasangan calon paling lama tiga hari.
Menyikapi persoalan itu, KPU kemudian menerbitkan surat edaran nomor 403 tahun 2015 yang mengatur secara teknis proses tahapan dan pemilihan akan diselenggarakan pada pemiliha serentak berikutnya.
Polemik pasangan calon tunggal terus berkembang. Ada yang berpendapat agar pelaksanaan pemilihan di daerah yang hanya terdapat satu pasangan calon ditunda sampai dengan jadwal pilkada serentak berikutnya (sebagaimana diatur dalam pasal 89 ayat 4 PKPU). Namun pendapat ini ditentang dengan alasan jalannya pemerintahan daerah akan terhambat lantaran harus dipimpin oleh penjabat dalam waktu lama.
Kalangan yang terakhir ini justru mengusulkan agar dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) pelaksanaan pilkada dengan satu pasangan calon. Namun wacana Perppu pun ditentang banyak pihak dengan alasan tidak adanya keadaan darurat sebagai syarat dikeluarkannya Perppu.
Di tengah-tengah polemik itulah, beberapa pihak mengajukan uji materi pasal-pasal dalam UU nomor 8 tahun 2015 yang mengatur “syarat minimal 2 pasangan calon”. Salah satunya yang mengajukan permohonan itu ke Mahkamah Konstitusi (MK) adalah Effendi Gazali, seorang pakar komunikasi politik yang kerap muncul di acara televisi.
Pada perkembangannya, setelah putusan MK dan PKPU diterbitkan, terdapat tiga daerah yang akhirnya melaksanakan pemilihan dengan satu pasangan calon pada pilkada tahun 2015, yaitu Kabupaten Tasikmalaya (Jabar), Kabupaten Blitar (Jatim) dan Kabupaten Timor Tengah Utara (NTT).
Pada pilkada tahun 2017, norma-norma mengenai pemilihan dengan satu pasangan calon sudah diatur di dalam UU Nomor 10 tahun 2016. Berbeda dengan pengaturan sebelumnya yang mengatur pemberian suara dengan cara memilih kolom setuju atau tidak setuju.
Di dalam pasal 54 C ayat 2 UU Nomor 10 Tahun 2016 diatur pemilihan satu pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat dua kolom, yang terdiri atas satu kolom yang memuat foto pasangan calon dan satu kolom kosong yang tidak bergambar.
Jadi pada pilkada 2017, masyarakat tidak lagi memilih kolom setuju atau tidak setuju. Tetapi, pemilihan diberi dua pilihan di surat suara, yakni memilih kolom pasangan calon atau kolom kosong. Norma baru ini sebetulnya berbeda dengan apa yang diputuskan oleh MK, namun sepanjang pilkada 2017 berlangsung, tidak ada pihak yang keberatan dengan norma baru itu.
Dalam pasal 54 D ayat 1 UU Nomor 10 tahun 2016 juga menyebutkan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan pasangan calon terpilih apabila mendapatkan perolehan suara lebih dari 50 % dari suara sah. Di norma sebelumnya hanya disebutkan suara terbanyak.
Dalam Pilkada tahun 2017, jumlah pasangan calon tunggal di pilkada Tahun 2017 semakin meningkat.
Jika pada pilkada tahun 2015 hanya terdapat tiga daerah yang menyelenggarakan pilkada dengan pasangan tunggal, di pilkada tahun 2017 justru terdapat sembilan daerah, meliputi: Kabupaten Buton (Sultra), Kabupaten Pati (Jateng), Kabupaten Tebing Tinggi (Sumut), Kabupaten Tulang Bawang (Lampung), Kabupaten Landak (Kalbar), Kabupaten Tambrauw (Papua Barat), Kabupaten Maluku Tengah (Maluku), Kota Jayapura (Papua) dan Kota Sorong (Papua Barat). (*)
0 Komentar